“Ayo Ke Semeru, sekali-sekali menjadi orang tertinggi di Pulau Jawa. Dan nikmati pesan kedamaian Sang Mahameru 2676 MDPL” (Patriot Indah Wistata)
Secangkir kopi panas melelehkan kebekuan kulit. Maklum, ketika itu, kawasan Pos Kalimati di Gunung Semeru memang tengah melampiaskan nafas bengalnya kesetiap penikmat alam. Namun, beruntung, sang Fajar mulai mengintip dari semak-semak awan yang masih cukup hitam. Ya, disini muncul harapan, jika hangat matahari akan segera menjadi sahabat karib di tengah-tengah hutan belukar belantara yang kekar.
Pesan kedamaian dari puncak Mahameru memang cukup membuat semangat di pagi buta ini. Perlahan, satu per satu kawan mulai ingat sebuah janji. Benar, janji memandang alam raya Indonesia dari puncak tertinggi di pulau jawa itu, dan diselingi selimut sunrise yang cukup melupakan segala petaka aktivitas sehari-hari.
Delapan orang sudah berdiri tepat didepan tenda yang dibuatnya. Ya, kalau dihitung jam, perjalanan dari Kalimati menuju puncak Mahameru sekitar empat jam. Disitu kita bisa singgah terlebih dahulu di pos Archopodo (pos terkahir sebelum masuk perbatasan jalur vegetasi antara pasir bebatuan dan hutan).
Perjalanan dari Kalimati ke Archopodo cukup melelahkan, jalur tracking terus menanjak dan jarang mendapat jalur datar (bonus). Hampir satu jam perjalanan, akhirnya berhasil sampai di pos Archopodo. Dan mitosnya, Arcopodo itu arca kembar yang hanya bisa dilihat oleh mereka yang beruntung, menanti dengan diam para pendaki yang berjalan pelan menuju puncak para dewa, Mahameru. Syiwa, yang bersemayam disana, diubun-ubun Jonggring Saloko, menyambut para pendaki yang tertatih melewati alur-alur pasir yang labil.
Disini, beberapa minuman penghangat seperti teh cukup membuat dahaga cukup ceria. Ya, tak terasa pemberangkatan yang dimulai pukul 03.30 WIB, ternyata sudah melaju ke pukul 05.00 WIB.
Pupus. Harapan melihat sunrise melalui puncak Mahameru kembali gagal, huft. Namun tak membuat pesan damai itu ditinggalkan. Jejak demi jejak dilangkahkan demi amanah untuk mendapatkan pesan kedamaian. Jalur pasir yang cukup lembut ternyata bias membuat manusia kehilangan pegangan. Bayangkan 10 kali melangkah hanya mendapatkan 2 langkah. Ternyata benar, proses mencapai tujuan itu berat dan menyakitkan.
Harapan kembali terukir ketika melihat sebuah batang pohon cemara. Ya, patokan ini biasa disebut dengan istilah “Cemoro Tunggal”. Bisa dikatakan aneh juga sih, Pasalnya, di jalur pasir bebatuan ternyata pohon ini tetap tangguh untuk sekadar pelampiasan pendaki dalam rehatnya sejenak.
Dijalur ini, menurut para penduduk sekitar yang mayoritas Hindu-Budha, Dewa-dewa itu telah membuat tangga surga dengan pasir labil agar kita mengerti, segala kesusahan akan berkurang jika kita menerimanya dengan ikhlas, dan dibalik keikhlasan tersebut ada keteguhan hati untuk tetap mengatasinya. Berjalan tiga langkah dan mundur dua langkah, kembali berjalan tiga langkah dan mundur lagi dua langkah, itulah ikhlas dan itulah keteguhan. Diujungnya, dilangkah terakhir menuju puncak, tidak ada rasa lain selain bahagia yang membuncah.
Eng…ing…eng, Jejak kaki yang sudah ribuan berjalan tepat pukul 07.00 WIB akhirnya merasakan pesan kedamaian itu. Ternyata benar, siapa yang dapat lebih lama bertahan, maka akan merasakan tujuan yang diyakininya penuh kedamaian. Memang tak ada rumah makan, atau penginapan diatas puncak Mahameru. Yang ada, hanya hamparan pasir yang mengepul diterpa angin puncak. Tapi, entah, sejenak memejamkan mata, dan melihat kembali hamparan alam raya dibawah awan, seakan Indonesia itu sempurna tanpa cacat.
Satu hal juga pesan kedamaian yang dirasakan di Mahameru, tak ada penaklukan, keperkasaan, atau pembuktian kehebatan petualangan. Justru di puncak dengan tamparan angin yang keras, debu-debu mengamuk dan menghiasi semua pakaian hingga rambut. Rasanya, puncak itu justru lebih berbahaya dari lereng gunung. Kehati-hatian jadi sandaran wajib.
Ditengah desir angin dingin dan kaki yang lelah melangkah, manusia justru tak punya daya untuk menaklukkan. Manusia tak boleh jumawa. Manusia wajib menerima apapun yang diberikan Tuhan. Hujan, rumput basah, buah cemara yang jatuh di tanah. Mereka hanya akan mengambil kenangannya.
“Di gunung kita akan menguji diri dengan hidup sulit, jauh dari fasilitas enak-enak. Biasanya akan ketahuan, seseorang itu egois atau tidak. Juga dengan olahraga mendaki gunung, kita akan paham budaya masyarakat. Jadi selain fisik sehat, pertumbuhan jiwa juga sehat. (Soe Hoe Gie)
Mitos Semeru
Letak Gunung Semeru pertamakali ada diujung barat Jawa. Dewa Wisnu dan Brahma yang meletakkannya agar Jawa yang selalu bergerak dan terguncang bisa diam terpaku. Jauh dari India diterbangkan Gunung Meru, yang berubah nama menjadi Semeru ketika terpancang di tanah Jawa.
Namun, setelah kejadian tersebut, justru pulau Jawa jadi stabil malahan bagian timur jadi terangkat, Wisnu dan Brahma mengangkatnya kembali dan menerbangkannya ke timur. Diatas punggung Wisnu yang menjelma kura-kura raksasa, sebagian gunung Meru jatuh membentuk Gunung Gede, Slamet, Sundoro, Merapi, Lawu, dan Welirang. Diantara Kelud dan Argopuro Wisnu menurunkan Gunung Meru dari punggungnya, masalah belum selesai karena ujung lain Jawa yang kini menjadi miring.
Maka dengan kekuatan dewa-dewa, sebagian Gunung Meru dipotong dan diletakkan di barat laut, dan kemudian dikenal sebagai Gunung Penanggungan. Tentu saja semua cerita itu tak ada dalam kitab geologi buatan manusia, melainkan hanya di kitab Tantu Pagelaran dari abad ke-15.
(Penulis : Dhani)